Minggu, 08 Juli 2012

"NYADRAN" start to faded in Communities

Apem cake companion with sticky rice (ketan) and palm sugary of bananas /sweet potatoes (kolak)

Eating Cake APEM (Nyadran)
Apem eat cake to remark the arrival of the fasting month commonly performed in Jogja / Java. Apem cake trust name comes from the word "Afwan" in Arabic, wich mean forgiveness. So symbolically eat cake can be interpreted apem aplogize all family, relatives and friends.After eating cake Apem the people who gathered usually great each other, shaking hand apologized and continued the show with Tahlilan. 
Nyadran have known such a tradition of our ancestor for long time ago. After Islam introduce the archipelago (about the 13th century) such tradition has been known Nyadranthis society, is slowly begining acculturated with Islamic teachings. When Wali Songo spread Islam in Java this tradition back to "modivied".  Finally happened blend of ritual, among the Jave community trust the teachings of Islam, with then produce Nyadran tradition. But lately Nyadran tradition began to disappear because many Islamic group began to clear of acculturation. 

Jumat, 06 Juli 2012

IMPIAN AYU LAKSMI





Akhirnya saya berkesempatan menyaksikan langsung pentas Ayu Laksmi. Suatu pentas yang menakjubkan bagi saya. Svara Semesta albumnya, dalam bahas Jawa Kuno dan Bahsa Bali. Isinya merupakan Mantraman pengagungan Tuhan dan semesta.

Maha Asa, Forever More Om Mani Padme Hum (mantra Budhha), Kidung Maria dan Breath (lagu bernuansa Islam) mengingatkan pada manusia tentang lahir, hidup dan mati yang diperankan manusia sesungguhnya.



Mimpi Ayu adalah menebar cinta kasih kepada sesama ummat manusia dan menyatukan cinta untuk dunia melalui spiritualitas bukan melalui agama.


United Love for the World adalah tema besar yang akan dibawanya ke beberapa tempat.






Rabu, 04 Juli 2012

Dhi Hyang menjadi DIENG





Dhi berarti gunung dan Hyang berarti para Dewa. Adalah sebuah dataran tinggi yang dikelilingi gunung-gunung dan terkenal dengan nama Dieng Plateau. Karena itu masyarakat Dieng menyebutnya tanah suci tempat tinggal para dewa dan dewi. Riwayat ini dibuktikan dengan ditemukannya banyak situs candi di sana. Saya sangat beruntung punya kesempatan bertemu Mas Muji, seorang spiritualis yang juga seorang dalang (malam itu mendalang di Dieng Culture Festival). Beliau bercerita kalau di wilayah Dieng ini sebetulnya secara keseluruhan ada 400 buah candi. Sembilan candi yang baru ditemukan dan hanya beberapa candi saja yang sudah komplit dipasangkan. Ada satu pusat candi yang besarnya separonya candi Borobudur begitu kata mas Muji saat dia meditasi dan dibawa penglihatannya ke Dieng di masa lalu. Komplek candi di Dieng ini tersebar lokasinya ke tiga tempat yaitu komplek candi Arjuna, komplek candi Gatotkaca dan komplek candi Bima.




Saat Dieng Culture Festival usai saya sengaja menambah satu malam tinggal di sana. Tujuan saya adalah ingin sedikit menikmati suasana Dieng dengan lebih tenang. Dua hari sebelumnya Dieng sangat ramai dan sibuk sekali. 

Pagi hari mas Kabul (penghuni rumah yang kami tinggali) mengajak Ithonk dan saya ke ladang untuk menanam kentang. Kami mengikuti mas Kabul dan Ayahnya mendorong geobak berisi bibit kentang yang akan ditanam. Sampai lereng bukit kami berhenti dan mereka menurunkan kentang di sisi pupuk kandang yang akan dibawa ke atas bukit. Ladang mereka ada di atas bukit. Namun saya sangat tercengang... karena ketika melihat ke atas terlihat sebuah candi. Saya menaiki tangga semen yang sudah dibuat menuju pintu pelataran candi. Saya masuk Candi Dwarawati.








Seperti candi candi yang lain di Dieng, Candi ini sebetulnya suatu komplek dengan candi lain seperti candi Pandu, Candi Margasari dan Candi Abiyasa. Ketiga Candi yang lain tidak utuh lagi. Candi Dwarawati akhirnya berdiri sendiri. Pada tiap sisi dinding candi ini terdapat relung relung yang seharusnya berisi patung Agastya, Dewi Durga dan  Ganesha. Candi Dwarawati nasibnya terpencil dari candi-candi lainnya yang berada di bawahnya.




Agak miris memang. Situs- situs Dieng ini semakin terbengkalai karena lokasi situs ini di area lahan pertanian. Situs yang masih tertinggal dan lumayan terpelihara adalah komplek candi Pandawa yang di dalamnya terdapat candi Arjuna dan candi Puntadewa. Luas areanya pun tinggal beberapa meter persegi.


Selasa, 03 Juli 2012

RITUAL YANG JADI MILIK PARA PENENTENG KAMERA!



Ritual memotong rambut gimbal atau "Gembel" yang biasa diadakan masyarakat dataran tinggi Dieng menjadi sangat meriah setelah dijadikan puncak acara Dieng Culture Festival (30 Juni sampai 1 Juli 2012). Satu bulan sebelum acara dimulai banyak hotel dan wisma tamu sudah dipesan. 
Saya berangkat pada tanggal 30 Juni, dua hari sebelumnya saya mencoba untuk memesan homestay, saya coba menelpon empat sampai lima homestay dan semuanya fully booked, saya mendapat info bahwa semua homestay sudah dipesan dalam satu bulan sebelumnya. Akhirnya teman saya Ithonk (yang ikut ke Dieng juga) mendapat  saran kalau kita bisa menginap di rumah penduduk. Kami sepakat mencobanya. Saya, Ithonk dan Ika berangkat menggunakan jasa travel "Rama Sakti" sampai kota Wonosobo dengan harga per orang Rp. 45.000,- kemudian disambung bis 3/4 menuju Dieng dengan biaya Rp. 8000,- per orang.  Perjalanan kami total 6 jam. Dari Jogja kami berangkat pukul 11.00 WIB dan sampai Wonosobo tiba pukul 15.00 WIB tak lupa kami istirahat sebentar makan "Mie Ongklok" dan Sate Sapi "Pak-Muhadi  yang sangat terkenal di Wonosobo, beruntung kami bisa minta pak supir untuk berhenti di sana, baru kami meneruskan perjalanan ke Dieng. Dokar transpotasi yang membawa kami ke terminal "Kauman" untuk mendapatkan bis jurusan Dieng. Pukul 16.00 kami sampai Dieng, kami turun bis dan menuju depan Losmen "Bu Jono" karena kami janjian denga Pak Alif ( orang Dinas Pariwisata yang menjadi ketua DCF ini) namun janjian kami dipindahkan oleh beliau ke Rumah makan Dieng  yang ternyata rumah makan ini adalah bisnis istri pak Alif. Beberapa menit setelah kami minum kopi dan makan makanan ringan (gorengan maksud saya) Pak Alif datang dengan sangat sibuknya, mas Kabul diperkenalkan ke pada kami dan membawa kami ke sebuah rumah di sebuah desa di balik jalan raya Dieng ini. Kami mendapat satu kamar yang bisa dihuni bertiga, dengan kasur springbed yang nyaman dan selimut yang sangat tebal plus bed cover nya, harga kamar itu Rp. 150.000,- per malam.

Api_api

Penghuni rumah ini sangat ramah, kami disediakan minuman hangat dan dibuatkan "Api-Api" istilah untuk heater yang sangat simpel dari tungku kecil dan kami mengitari tungku itu sambil minum makan camilan dan ngobrol-di dapur. 
Saat itu temperatur menunjuk pada 10 derajat Celcius. Sangat dingin sekali. Informasi malam itu bisa mencapai 7 derajat C. Hawa dingin ini membuat kami malas keluar, tapi kami sudah terlanjur ingin melihat pesta kembang api dan wayang kulit. Kami keluar rumah pada pukul 22.00 WIB. langsung singgah di rumah makan Dieng dulu untuk minum kopi. Di tengah kami duduk duduk ternyata kembang apai sudah dinyalakan... ternyata waktu di majukan karena beberapa alasan, selain sangat dingin, juga muncul "Embun Upas" di lokasi pelataran candi. Embun Upas adalah embun beracun yang bisa membahayakan tanaman kentang juga manusia. Al hasil kami hanya bisa menikmati "Pesta Kembang Api" dari jauh....
Pagi harinya kami bersiap siap untuk mengikuti ritual. Saya mencoba mandi tanpa air panas, dingin sekali tak terkira sementara yang lain memilih menunggu masakan air panas. 
Untuk bisa mengikuti upacara sampai masuk halaman candi tempat pemotongan rambut kami dikenakan tanda pengenal seharga Rp. 25.000,-  Pukul 08.00 WIB kami berkumpul di rumah Ketua Adat. Enam anak berambut Gimbal sudah berkumpul di sana bersama orang tuanya masing masing. Di depan rumah ketua adat sudah siap dua buah gunungan yang berisi hasil tani. 


Kami menunggu sangat lama di tempat ini. Saya kaget, ternyata sudah banyak wartawan yang akan meliput acara ini plus komunitas fotografi dan para fotografer 'dadakan' juga  banyak muncul di sini. Depan rumah tetua adat menjadi sangat ramai orang membawa kamera dan peralatannya, saya merasa aneh saja, karena saya tahu bahwa acara ini adalah acara yang sangat sederhana sebetulnya. Desa Dieng Kulon menjadi ramai mendadak. Melebihi saat lebaran kata seseorang penduduk di sana. 




Kurang lebih satu jam kami menunggu prosesi dimulai. Acara siap dimulai, para anak gimbal dengan orang tuanya masing masing dipersilakan naik ke dokar yang sudah disediakan. Ada dua dokar di sana.

Arak arakan diawali oleh kelompok ketua adat, sesepuh desa dan beberapa orang yang dipercaya untuk memotong rambut anak gimbal. Mereka membawa beberapa macam sesaji. Seorang ibu membawa bunga tiga jenis (mawar, melati dan kantil) kemudian ditengah ada seorang bapak membawa alat cukur, pewangi badan ( saya lihat saat itu ber merek Marlboro dan Dunhill.. hehehe) dan satu ibu lagi membawa beras kuning dan bunga. Urutan ke dua adalah barisan Gunungan, lalu diikuti satu gerobak barang barang permintaan para gimbal, dalam gerobak itu terlihat kabing domba satu ekor, ayam jantan, sepeda mini dan telur sepuluh butir.  Baru kemudian dua dokar yang membawa anak gimbal, setelah itu baru grup-grup kesenian yang akan memberi hiburan di pelataran candi nantinya. Grup kesenian itu adalah kesenian angklung, Singo barong dan kesenian Rampak Yasa Pringgodani yang menampilkkan Gathot Kaca yang diiringi para Butha. 














Setelah keliling desa arak-arakan kemudian memasuki komplek candi, anak-anak gimbal dibawa masuk ke sendang "Sendayu" di sisi utara unutk melakukan pejamasan, rambut mereka dibasuh dengan air sendang campur bunga oleh seorang tetua adat. Setelah selesai semuanya, mereka diarak ke pelataran candi Arjuna, di depan salah satu candi paling selatan yaitu candi Puntodewo. sudah siap segala peralatan persyaratan, permintaan dan sesaji ritual. Mulailah ritual potong rambut ini. 

salah satu anak gimbal dipotong rambutnya (suara merdeka)


anak anak gimbal akan di Jamas (poto: suara merdeka)
Rambut mereka yang gimbal ternyata tidak bisa dipotong begitu saja, apalagi dipotong di salon kalau tidak melalu permintaan anaknya sendiri apabila rambut ini dipotong, gimbal akan tumbuh kembali. Pada pemotongan saat ini permintaan anak anak sangat menarik. Ada anak yang minta sepeda hias dan telur 10 butir, ada yang minta uang receh 1000 dan 100 rupiah, ada yang minta susu Milku kuat dan Milk kita, ada yang minta anting emas dan juga ada yang minta ayam jago sekaligus bakso. 
Pemotongan rambut gimbal ini dilaksanakan oleh tetua adat juga pejabat pemerintah setempat dan didamping orang tua masing masing. Rambut gimbal setelah dipotong kemudian dilarung ke Telaga Warna.

Meskipun di Dataran Tinggi Dieng masih banyak anak gimbal namu mereka belum semuanya mau diruwat. Saya sempat melihat seorang anak gimbal sudah berumur 10 tahun an. Ketika ada waktu ngobrol dengan dalang mas "Muji" dan ayah mas "Kabul"  saya mendapat informasi. Muhammad Alfarizi Massaid nama lengkapnya ini dan biasa dipanggil Rizi ini mempunyai rambut gimbal jenis pari. gimbal Rizi mempunyai permintaan pementasan Reog Ponorogo, Barongsai dan diberi Cemeti apabila nanti diruwat. Karena sampai sekarang dia belum mau diruwat, akhirnya dia seperti maskot gimbal di daerah itu, para artis dan presenter tv pun sudah banyak yang foto bersamanya. 

Muhammad Alfarizi Massaid 

Masyarakat dataran tinggi Dieng ini percaya bahwa anak anak gimbal ini adalah anak bajang yang merupakan titpan Nyai Roro Kidul. Anak Gimbal laki laki adalah titsan Eyang Agung Kala Dete sedangkan anak Gimbal Perempuan adalah titsan Nini Ronce Kala Prenye.

Ketika "ngobrol" dengan mas Muji si Dalang malam itu dan beberapa penghuni rumah... saya menjadi mengerti bahwa ritual ini sebenarnya tidak harus semewah dan seramai ini, biasanya kami selenggarakan di rumah masing masing dengan mengundang tetangga sekitar, setelah gimbal dipotong, para tamu memberikan sumbangan, permintaan gimbal diusahakan orangtuanya dan setelah dipotong rambut gimbal dibungkus kain putih lalu di larung di sungai Tulis yang akan mengalir ke arah gunung Srandil di pantai Selatan di mana Nyai Roro Kidul berdiam. Namun acara ritual ini akhirnya menjadi komoditi wisata kabupaten Banjar Negara. Dengan mengumpulkan anak gimbal ini sekalian diadakan Dieng Culture Festival di komplek candi Arjuna. Bebapa tatacara pun berubah. Hanya pengguna tanda pengenal peserta dan press saja yang dibolehkan masuk pelataran candi, selebihnya masyarakat umum hanya bisa melihat dari jauh yang dibatasi kain putih memutar candi. Saya sangat menyesalkan ini karena mereka adalah masyarakat sekitar yang mempunyai tradisi ini malah banyak yang tidak bisa menyaksikan. Menurut saya acara ini seperti menjadi milik wartawan, komunitas fotografi atau para fotografer-fotografer dadakan. "Co Card peserta terjual 700 biji mas...itu belum Co card Press nya" tutur panitia kepada saya.